SHIFTORBIT — Gunungkidul – Di pesisir selatan Gunungkidul, Tahun Baru Hijriah disambut bukan dengan pesta atau kemeriahan, melainkan dengan kesunyian yang penuh makna. Dalam tradisi yang telah berlangsung ratusan tahun, masyarakat memperingati 1 Suro yang bertepatan dengan 1 Muharram dalam kalender Hijryah melalui ritual sakral bernama Labuhan Laut.
Labuhan laut bukan sekadar upacara adat. Ia adalah ekspresi spiritual, budaya, dan penghormatan terhadap alam. Di sepanjang pantai selatan, dari Ngrenehan hingga Sadeng, warga berduyun-duyun menuju laut. Mereka membawa sesaji berupa hasil bumi, bunga, dan simbol-simbol harapan, untuk dilarung ke tengah samudra dalam suasana khusyuk dan syahdu.
Puncak perayaan terlihat di Pantai Baron, Sabtu (6/7), di mana ratusan warga berkumpul mengikuti prosesi larungan yang dipimpin langsung oleh Bupati Gunungkidul, Endah Subekti Kuntariningsih. Dalam balutan busana adat, ia secara simbolis melarungkan sesaji sebagai ungkapan syukur, permohonan keselamatan, serta penghormatan kepada laut yang selama ini menjadi sumber penghidupan masyarakat.
“Labuhan ini bukan hanya upacara budaya. Ini adalah napas spiritual masyarakat pesisir. Mereka sadar bahwa laut adalah sumber hidup, dan mereka tahu caranya menghormati alam,” ujar Endah.
Menurutnya, Tahun Baru Hijriah di Gunungkidul tak sekadar momentum perayaan, melainkan waktu perenungan. Tentang hubungan manusia dengan alam, tentang asal muasal rezeki, dan batas antara mengambil dan memberi.
Tradisi Labuhan Laut, kata Endah, berakar dari kearifan para leluhur. Di masa lampau, para nelayan tak pernah melaut tanpa “permisi” secara batin. Jika laut memberi hasil melimpah, mereka akan mengembalikannya dalam bentuk sesaji. Ini bukan karena takut pada kekuatan gaib, tetapi karena kesadaran bahwa alam mesti dijaga keseimbangannya.
“Ini bukan soal takut, tapi soal tahu diri. Kita hidup dari laut, ya kita harus ingat, jangan cuma ambil, tapi juga memberi,” tambah Endah.
Laut dalam Perspektif Masyarakat Pesisir
Bagi masyarakat pesisir, laut bukan benda mati. Ia adalah makhluk hidup, punya roh, punya kehendak. Dan menghormatinya, berarti menghormati kehidupan itu sendiri.
Sukamto, nelayan Pantai Baron yang puluhan tahun menggantungkan hidup dari laut, menyebut 1 Suro sebagai hari yang paling ia tunggu. Baginya, Labuhan bukan ritual kosong, tapi cara untuk menundukkan ego, memohon keselamatan, dan menyambung kembali hubungan manusia dengan alam.
“Laut itu tidak bisa dipaksa. Kadang dia beri, kadang dia ambil. Tapi kita ini cuma numpang hidup. Jadi kita ya harus ngerti caranya bersyukur,” ujarnya.
Sesaji yang larut dan hilang dalam gelombang, bagi Sukamto, adalah simbol bahwa rezeki sejati lahir dari ketulusan. Dan keselamatan datang saat manusia tahu cara menghormati alam yang telah memberinya kehidupan.
“Selama laut masih ada, selama kami masih hidup dari laut, selama itu pula kami akan terus melarung sesaji. Bukan karena disuruh, tapi karena kami tahu: laut telah memberi, dan kami harus tahu cara membalas,” pungkasnya.