SHIFTORBIT — Saat mencoba membuat cerita yang mendalam dengan membaca puluhan transkrip wawancara, saya sempat bingung. Mencari jarum di tumpukan jerami mirip dengan itu. Seolah-olah waktu yang dihabiskan untuk mendengarkan rekaman wawancara dan mentranskripnya lebih lama dari waktu yang dihabiskan untuk menulis berita itu sendiri. Itu cukup? Itu benar. Namun, untuk memastikan tidak ada informasi yang terlewatkan, saya harus mengikuti prosedur itu.
Saya kemudian melakukan eksperimen dengan kecerdasan buatan (AI) dengan tujuan sederhana: mengurangi waktu. Saya bisa menyelesaikan proses mentranskrip dalam waktu kurang dari lima menit, meskipun itu bisa memakan berjam-jam, bahkan sehari penuh.
Saat itulah saya menyadari bahwa kecerdasan buatan bukan sekadar istilah canggih; itu adalah solusi nyata untuk kesulitan yang timbul dalam pekerjaan jurnalistik. bukan untuk mengambil alih posisi saya, tetapi untuk mengatur bagaimana saya bekerja dengannya.
Saya tidak hanya tertarik pada AI karena itu. Saya mulai mencoba hal-hal baru sendiri beberapa tahun lalu. Di antara tugas peliputan saya, saya mencoba menggunakan AI untuk menganalisis data, menyusun headline, atau mentranskripsi wawancara panjang—yang dalam istilah televisi biasanya disebut sebagai verbatim. Saya melakukan ini semua karena saya yakin bahwa, cepat atau lambat, AI akan menjadi bagian integral dari jurnalistik.
Sekarang, AI telah masuk ke banyak hal dalam kehidupan kita, seperti transportasi, hiburan, dan layanan kesehatan. Algoritma prediksi yang memengaruhi keputusan investasi global dan pergerakan harga saham bahkan memengaruhi industri finansial. Teknologi ini sudah ada di dunia saat ini, bukan lagi milik masa depan. Oleh karena itu, jurnalis juga diminta untuk mempertanyakan posisi kita dalam ekosistem informasi yang saat ini sebagian dikendalikan oleh algoritma.
Dalam ruang redaksi kontemporer, AI tidak lagi sekadar pemanis; sekarang berfungsi sebagai “pembantu” yang membantu jurnalis memilah data besar, membuat ringkasan berita dengan cepat, dan bahkan menawarkan variasi judul agar berita lebih mudah diakses oleh lebih banyak pembaca. Selain itu, surat kabar terkemuka seperti The Washington Post dan The Wall Street Journal tidak ragu untuk memanfaatkan kecerdasan buatan untuk meningkatkan produktivitas mereka.
Pengalaman jurnalis internasional membuka mata saya. Menurut Marie Gilot, Executive Director J+ CUNY, AI saat ini sangat mudah diakses, bahkan gratis, sehingga jurnalis dapat menggunakannya tanpa bantuan tim khusus. Coba. Anda tidak akan mengalami kerusakan. Marie dengan antusias menyatakan bahwa ini menyenangkan dan akan sangat bermanfaat ke depannya.
Marie, yang telah memimpin berbagai pelatihan jurnalis yang sangat tertarik pada AI, tampaknya sangat memahami tantangan yang dihadapi oleh reporter dari seluruh dunia. Dia menyatakan bahwa memulai tidak memerlukan tim teknologi khusus. Semua orang dapat melakukan eksperimen kecil, mulai dari menyarikan dokumen, membuat caption di media sosial, hingga menganalisis data dari laporan lembaga publik.
Menurutnya, hanya perlu rasa ingin tahu dan keberanian untuk mencoba.
Setelah mencobanya sendiri, jurnalis investigatif dari Rumania Luiza Vasiliu, yang awalnya sangat skeptis terhadap AI, mengubah pendapatnya. “Rasanya seperti naik roller coaster, tapi kini saya sadar AI membantu kami menghasilkan karya yang lebih berkualitas.”
Saya juga pernah ragu. Namun, saya menemukan bahwa kecerdasan buatan justru membantu kita menjadi lebih analitis, berhati-hati, dan bertanggung jawab dalam memverifikasi dan menceritakan informasi.
Infrastruktur baru, bukan ancaman
Apakah jurnalisme akan menghadapi ancaman AI? Ini adalah pertanyaan besar.
Kami diyakinkan oleh Nikita Roy, seorang peneliti kecerdasan buatan dan pendiri Newsroom Robots, bahwa kecerdasan buatan bukanlah ancaman tetapi perubahan besar dalam cara kerja redaksi, mirip dengan pergeseran dari media cetak ke digital beberapa dekade sebelumnya.
Ia mengingatkan betapa pentingnya bagi jurnalis untuk terus mengikuti perkembangan—atau, dengan kata lain, “tetap relevan.” Sayangnya, sejarah telah menunjukkan bahwa kita sering terlambat untuk menanggapi perubahan seperti digitalisasi, media sosial, dan AI.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Institut Reuters menemukan bahwa jika AI digunakan dengan bijak, itu akan membuat jurnalis lebih mampu melakukan peliputan investigatif mendalam berbasis analisis yang lebih baik daripada yang dapat dilakukan oleh mesin.
Tetapi jurnalisme harus mempertimbangkan etika saat menggunakan AI. Di tengah banyaknya misinformasi dan disinformasi, penting untuk memastikan bahwa AI tidak malah menambah bias atau informasi keliru, tetapi justru membantu akurasi melalui proses yang transparan.
Studi kasus yang menarik menunjukkan bahwa surat kabar lokal Norwegia iTromsø berhasil meningkatkan pembacanya hingga 33% setelah menggunakan sistem AI bernama DJINN (Data Journalism Interface for News Gathering and Notification).
Jurnalis memanfaatkan sistem ini untuk memindai ribuan dokumen publik dan menemukan informasi yang relevan untuk investigasi. Hasilnya, bahkan jurnalis baru dapat menghasilkan berita penting dalam hitungan hari. Ini menunjukkan bahwa AI tidak hanya efektif, tetapi juga dapat memperluas dampak dan jangkauan jurnalistik lokal.
Sudah ada tindakan awal di Indonesia. Pada 22 Januari 2025, Dewan Pers mengeluarkan Pedoman Penggunaan AI dalam Jurnalistik. Pedoman ini menegaskan bahwa konten yang dibuat dengan bantuan AI harus mengandung keterangannya karena AI hanyalah alat bantu dan bukan pengganti manusia. Ini sangat penting untuk mempertahankan kepercayaan publik dan menghindari penyebaran bias atau disinformasi yang dapat diperkuat oleh algoritma.
Etika, transparansi, dan masa depan jurnalisme
Di tengah ledakan informasi saat ini, jurnalis harus cepat selain cermat dan jujur. Penggunaan AI yang salah justru dapat memperburuk bias dan misinformasi. Di sinilah kode etik dan literasi teknologi sangat penting. AI bukan untuk menggantikan intuisi editorial; sebaliknya, itu memperkuat intuisi editorial. Jika digunakan dengan benar, AI memiliki kemampuan untuk meningkatkan akurasi, memperluas cakupan liputan, dan menghidupkan kembali semangat eksploratif jurnalisme.
Jadi, apakah AI akan digunakan atau tidak dalam jurnalistik bukanlah masalah.
Apakah kita siap untuk menggunakannya dengan bijak?
Pengalaman saya selama Maret lalu di Lab Jurnalisme Kecerdasan Buatan di New York memperjelas bahwa fokus masa depan jurnalisme bukanlah mengganti manusia dengan mesin; sebaliknya, bagaimana manusia memanfaatkan kecerdasan buatan untuk melakukan pekerjaan yang lebih efisien, adil, dan signifikan. AI bukan akhir jurnalisme; itu bisa menjadi awal dari era baru jurnalisme yang lebih responsif.
SUMBER CNNINDONESIA.COM : AI, Ruang Redaksi dan Nalar Masa Depan Jurnalisme